News‎ > ‎

Dosen yang (Belum) Dibaca Dunia

diposting pada tanggal 14 Jun 2016, 15.22 oleh Jejen Musfah FITK UIN Jakarta
Go Cakrawala, 30 Maret 2015

Ada kesamaan topik seminar nasional maupun internasional di beberapa kampus di penghujung 2014 hingga Maret 2015, yaitu tentang masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) dan revolusi mental. Yang terakhir populer sejak Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden, dan akhirnya terpilih menjadi Presiden RI yang ke-7.   

Pertanyaan yang muncul dalam seminar-seminar tersebut kira-kira adalah bagaimana kesiapan perguruan tinggi (PT) menghadapi era MEA yang akan berlangsung pada 2015 ini? Langkah apa saja yang perlu dilakukan oleh PT menghadapi MEA ini? Revolusi mental merupakan pilihan yang harus diambil oleh pimpinan PT untuk memperbaiki mutu kampus. Pimpinan punya peluang lebih besar daripada dosen dan staf untuk mengubah ketertinggalan PT Indonesia dari PT luar negeri.   

Tulisan ini fokus pada masalah apa saja yang terkait mutu dosen dan bagaimana langkah yang perlu dilakukan oleh pemimpin PT. Dosen adalah kunci mutu dan kemajuan sebuah PT. Bangunan yang bagus dan fasilitas yang lengkap tidak ada artinya jika mutu dosen rendah. Faktanya, mutu dosen di PT kita sangat rendah. Era MEA tidak hanya ditandai dengan (boleh) dibukanya PT asing di Indonesia, tetapi (boleh) masuknya dosen-dosen asing ke PT Indonesia. Apakah mutu dosen Indonesia bisa sejajar bahkan lebih baik dari dosen luar negeri?   

Pertama, dosen bergelar doktor masih sedikit. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari sekitar 186.000 dosen di PT negeri dan swasta, hingga tahun 2014, masih 23,8 persen yang berpendidikan S-1. Dosen yang sudah S-2 sebesar 62,9 persen, dan S-3 baru sekitar 13,3 persen.  

Dosen terbagi dua: belum mau melanjutkan S-3, mungkin merasa cukup S-2 atau tidak cukup percaya diri untuk S-3, atau terperangkap zona nyamannya sendiri; dan dosen yang kuliah S-3, namun tidak kunjung selesai (mahasiswa abadi). Merasa cukup dengan gelar magister jelas pemikiran yang keliru, sebab dosen harus terus belajar supaya kompetensinya terus bertumbuh (continuous improvement). Sedangkan dosen tidak percaya diri bisa jadi karena diharuskan menulis disertasi, menerbitkan artikel di jurnal internasional, dan cakap berbahasa Inggris (skor TOEFL 500).

Mengapa banyak dosen tidak mampu menyelesaikan S-3 tepat waktu? Bagi dosen seperti ini, prioritas utama bukanlah kuliah tapi pekerjaan. Dosen PNS sering memilih izin belajar daripada tugas belajar. Yang pertama ia kuliah tapi wajib mengajar dan meneliti, dan yang kedua artinya dosen hanya kuliah, dan dibebaskan dari kewajiban mengajar dan meneliti. Dosen tidak hanya mengajar tapi (beberapa) menjadi pejabat di kampus atau mengerjakan “proyek”, baik di dalam maupun di luar kampus. Jelas, dosen seperti ini kehabisan waktu dan tenaga untuk membaca dan menulis disertasi.    

Menarik di sini, di Indonesia, bahwa dosen mendamba jabatan struktural, padahal ia pekerjaan administratif yang membunuh kegiatan dan budaya akademik dalam pengertian pengembangan ilmu seperti membaca buku, menulis, dan riset. Dosen potensial perlahan akan semakin jauh dari kegiatan membaca, menulis, dan meneliti karena waktunya habis luruh untuk hal administratif kampus. Kecuali aturannya diubah, bahwa hal-hal teknis dikerjakan oleh staf, sedangkan dosen struktural tetap harus fokus mengajar, menulis, dan meneliti.              

Kedua, kemampuan bahasa Inggris dosen masih rendah. Lembaga pendidikan dunia EF English First mengumumkan laporan komprehensif pertama (2011), tentang Indeks Kemampuan bahasa Inggris atau EF English Proficiency Indeks (EF EPI) di 44 negara. Bahasa Inggris di Negara-negara itu bukan merupakan Bahasa Ibu atau pertama yang digunakan. Kemampuan Bahasa Inggris di Indonesia berada sangat rendah di urutan ke-34, sedangkan Malaysia tembus di urutan ke-9.   

Buku dan artikel ilmiah adalah jendela dunia. Membaca karya dan hasil riset dosen dalam dan luar negeri akan membuka wawasan dosen. Ia mengerti apa yang terjadi di dunia luar dan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga pengetahuannya tidak terbatas lokal tapi global. Bagaimana mungkin mewajibkan mahasiswa menggunakan referensi asing dalam menulis makalah dan skripsi/tesis/disertasi, jika dosennya tidak menguasai Bahasa asing. Sumber bacaan asing sangat berlimpah, baik buku maupun jurnal, kendalanya kemampuan Bahasa. Buku dan jurnal hanya berderet di rak perpustakaan PT atau dalam memori komputer, dan tidak memberikan manfaat bagi pengetahuan dosen dan mahasiswa.

Ketiga, kemampuan riset dosen sangat rendah. Pertanda budaya membaca dan kemampuan menulis yang rendah. Survey oleh Scientific American di Tahun 1994 menunjukkan bahwa kontribusi ilmuwan Indonesia pada khasanah pengembangan dunia ilmu setiap tahunnya hanyalah sekitar 0.012%, yang jauh berada di bawah Singapura yang berjumlah 0.179%, apalagi kalau dibandingkan dengan USA yang besarnya lebih dari 20%.     

Dana riset sangat kecil dan terbatas sehingga tidak semua dosen punya kesempatan meneliti. Sementara, penelitian dosen asal jadi, tidak memenuhi standar untuk dimuat di jurnal terakreditasi nasional apalagi internasional. Dana penelitian setiap tahun habis, tetapi dampaknya bagi peningkatan mutu dosen, lembaga, masyarakat, dan ilmu pengetahuan sangat minim.

Ini akibat dari dosen meneliti tidak penuh waktu tapi paruh waktu. Dosen tidak hanya fokus meneliti, tapi mengajar dan (sebagian) pejabat struktural kampus, serta mengerjakan pekerjaan lainnya—mungkin untuk bertahan hidup (?). Penelitian tidak serius, baik segi waktu, objek, metodelogi, referensi, sintesa, maupun analisisnya. Hasil kerja yang baik tidak bisa diraih dengan bekerja asal-asalan atau sambil lalu.       

 

Tindakan Pemimpin

Era MEA merupakan momentum pimpinan PT untuk mengambil kebijakan mendasar terkait pengembangan dosen. Revolusi mental dimulai dari pimpinan sebagai pembuat kebijakan. Mutu dosen adalah dampak dari perubahan mental pemimpin kampus. Sebesar apa pun keinginan maju dosen tidak akan berhasil jika tidak didukung pemimpin yang academic quality oriented.

Pertama, mendorong dosen untuk melanjutkan S-3. Upaya pemerintah sudah terlihat seperti menyediakan beasiswa melalui Kemendikbud, Kemenag, dan Kemenkeu. Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan MenPAN dan RB No   17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, bahwa dosen S-2 hanya bisa sampai golongan III d dan jabatan Lektor Kepala hanya bisa bagi dosen yang sudah selesai S-3. Sudah dibuat pula aturan bahwa kuliah dengan jalur beasiswa penuh harus tugas belajar. 

Upaya pemberian beasiswa dan pembatasan kenaikan golongan dan jabatan tersebut belum berhasil mendorong dosen melanjutkan dan menyelesaikan S-3. Dosen sering memilih izin belajar meski mendapat beasiswa penuh. Saatnya pimpinan PT melakukan langkah konkrit untuk menjawab persoalan ini. 1) dosen yang sedang dan yang akan kuliah tidak diperkenankan menjabat di kampus. Juga tidak terlibat proyek penuh waktu. Mungkin sebagian kecil dosen bisa selesai kuliah sambil menjabat, tapi sangat dikhawatirkan kualitas kematangan intelektualitasnya.

2) dosen yang kuliah harus dengan status tugas belajar. Ini tidak menjamin ketepatan waktu selesai kuliah, tetapi setidaknya mereka punya waktu membaca yang cukup. 3) pemberian beasiswa bagi dosen yang tidak mendapat beasiswa dari luar kampus. 4) mengubah pikiran dosen dari merasa puas dengan kondisi saat ini (zona nyaman) ke pikiran masa depan yang pasti akan lebih baik. Tidak salah jika dosen menolak untuk S-3, tetapi pemimpin yang baik mendorong mereka untuk tidak berhenti belajar. 

Jika dosen sudah berpendidikan S-3, fokus PT negeri dan swasta diarahkan untuk fokus pada penerimaan program S-2 dan S-3. Jumlah mahasiswa magister dan doktoral harus lebih banyak dibanding mahasiswa S-1. Inilah di antara ciri PT kelas dunia.      

Kedua, penguatan bahasa Inggris di kampus. Pimpinan PT bisa melakukan, 1) pelatihan bahasa Inggris. Dosen bisa dilatih secara intensif, baik di dalam maupun di luar negeri. Kemampuan Bahasa dosen merupakan pintu masuk untuk memperoleh beasiswa dalam dan luar negeri. Dosen sering gagal memperoleh beasiswa karena skor TOEFL-nya rendah. 2) Penyediaan buku dan jurnal berbahasa asing yang memadai di perpustakaan universitas dan fakultas. 3) Penerapan bahasa Inggris sebagai Bahasa pengantar perkuliahan. 4) Penggunaan bahasa Inggris dalam penulisan makalah dan skripsi/tesis/disertasi mahasiswa. Mungkin tidak semua PT harus menerapkan sistem ini, tapi bisa dimulai dari PT negeri dan swasta yang dianggap siap.      

Ketiga, fokus penelitian dan jurnal. Pimpinan PT mulai menjalankan, 1) pelatihan riset untuk dosen. 2) pengiriman dosen setiap tahun ke PT luar negeri untuk melakukan kerjasama riset dengan dosen di sana (sabbatical leave). Dosen dibebaskan dari mengajar selama 1 hingga 2 semester, tanpa dikurangi haknya sedikit pun—karena meneliti sama bebannya dengan mengajar bahkan lebih berat. 3) pengalokasian dana riset dan jurnal yang cukup besar. Pemerintah melalui beberapa kementerian sudah menyediakan dana riset, tapi jumlahnya belum sesuai dengan jumlah dosen yang ada. Dana riset dari PT masih sangat perlu. Mulai 2015, Dikti hanya akan mengakui Jurnal yang diterbitkan secara online. Karena itu, Tim jurnal yang melek teknologi perlu mendapat perhatian.

Akhirnya, era MEA sudah di depan mata. Pimpinan PT tidak punya banyak waktu untuk mengubah ketertinggalan mutu PT di Indonesia. Pengembangan kompetensi dosen tak bisa ditawar, seperti kuliah S-3, kursus Bahasa asing, dan workshop keterampilan menulis dan meneliti. Tidak ada artinya gedung kampus yang megah jika dosennya tidak kompeten. Dosen bukannya tidak bisa lebih baik, tapi kadang terpenjara oleh kebijakan pimpinan yang tak berpihak pada pengembangan mutu dosen.

Jika tidak ada langkah konkret dari pemimpin PT pada satu sisi, dan perubahan paradigma dosen pada sisi yang lain, maka perlu waktu seratus tahun untuk melihat kenyataan bahwa karya para dosen Indonesia dibaca oleh ilmuwan dunia.    

Comments