Media Indonesia, 18 Februari 2013 (opini ini memenangkan Juara II kategori artikel pendidikan dari Mendikbud M Nuh)
SARAN paling banyak dilayangkan kepada Kementerian Pendi dikan dan kebudayaan (Kemendikbud) terkait dengan rencana perubahan kurikulum ialah pentingnya penyiapan guru sebagai pelaksana kurikulum di kelas. Pelatihan sangat penting bagi guru, seperti dikatakan Sutermeister (1976) dalam People and Productivity, “Kemampuan dihasilkan dari pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, pelatihan, dan minat. Keterampilan dipengaruhi oleh bakat dan kepribadian, sebagaimana juga oleh pendidikan, pengalaman, pelatihan, dan minat.“ Berdasarkan
pengalaman kurikulum sebelumnya, banyak guru belum memahami
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)–meskipun melaksanakannya;
mempraktikkan belum tentu memahami. Jika belajar dari masa lalu,
kebijakan baru tidak serta-merta meningkatkan mutu pendidikan.
Sosialisasi dan pelatihan terkait dengan kebijakan dilakukan, tetapi
tidak menyasar hingga ke lapisan yang berkepentingan.
Pelaksanaan kebijakan dilakukan secara terburu-buru. Bradley, et al (1994) menulis dalam Developing Teachers Developing Schools; Making Inset Effective School,
tentang pentingnya pelatihan bagi guru sehingga mereka bisa
mengajarkan hal-hal baru bagi para murid dan sekolah mampu menghadapi
setiap perubahan dengan penuh percaya diri.
Tidak
ada jaminan guru menjadi kompeten setelah mengikuti pelatihan.
Kasus pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) bisa jadi
pelajaran. PLPG merupakan syarat guru memperoleh sertifikat profesi
(guru). Namun, banyak penelitian membuktikan tidak ada korelasi
positif antara sertifikasi dan kompetensi guru.
Rantai Masalah
Mengapa
pelatihan-pelatihan guru seperti PLPG tidak efektif? Beberapa
masalah terkait dengan pelatihan bisa diringkaskan dalam beberapa
butir berikut ini. Pertama, terkait dengan materi dan metode
penyampaiannya. Pelatihan tidak efektif karena sekadar
teoretis-konseptual. Pelatihan seharusnya melatih keterampilan guru
terkait dengan tugas-tugasnya, seperti komputer, pembelajaran aktif,
dan penelitian tindakan kelas.
Darling-Hammond, et al (2005) menulis dalam The Design of Teacher Education Programs,
`Pelatihan harus memperhatikan kebutuhan riil guru terkait dengan
fungsinya sebagai pengajar dan pendidik, bukan sebatas memberikan
kemampuan teoretis’. Materi pelatihan harus memuat keterampilan di
samping konseptual. Masalahnya lebih dari itu, sering materi yang
membutuhkan praktik disampaikan secara teoretis atau konseptual.
Seharusnya peserta langsung praktik dan pelatih mengarahkan.
Kedua,
masalah di seputar peserta. Peserta yang dikirim sekolah tidak
sesuai dengan kualifikasi yang diminta panitia, seperti pelatihan
untuk guru matematika, tetapi yang dikirim ialah guru bahasa
Inggris. Pengiriman pe Inggris. Pengiriman peserta yang tidak tepat
tersebut memunculkan masalah baru, yaitu ketidakpahaman peserta pada
materi-materi pelatihan. Akibatnya, peserta sulit menerima materi dan
sulit beradaptasi dengan suasana pelatihan.
Pelatihan
tidak efektif juga karena peserta tidak memiliki rasa ingin tahu
yang besar. Peserta sangat pasif di dalam kelas. Tidak bergairah.
Guru senior atau sangat tua biasanya kehilangan semangat sehingga
hanya menjadi pendengar. Padahal, tipe pelatihan membutuhkan
komunikasi dua atau multiarah. Dengan strategi pembelajaran aktif
apa pun, kategori peserta seperti itu biasanya sulit ‘maju’.
Kecuali
itu, kesempatan mengikuti pelatihan bagi guru tidak merata. Kuota
pelatihan tidak sebanding dengan jumlah guru. Di sisi lain, setelah
pelatihan, guru tidak berinisiatif atau tidak diberi kesempatan oleh
sekolah untuk melatih sesama guru.
Ketiga,
terkait dengan waktu. Waktu pelatihan sangat sempit sehingga materi
pelatihan tidak dipahami secara utuh oleh guru. Jumlah materi
pelatihan cukup banyak, sedangkan waktunya sedikit. Sebagai contoh,
pelatihan dilaksanakan pada pukul 07.00-22.00. Itu amat melelahkan
bagi peserta pelatihan sehingga pelatihan tidak efektif. Itu amat
melelahkan bagi peserta pelatihan sehingga pelatihan tidak efektif.
Pelatih juga sering menutup sesi pelatihan tidak sesuai dengan waktu
yang disediakan.
Pelatihan
juga sering dilaksanakan tidak tepat waktu. Pelatihan sering
dilaksanakan pada waktu Sabtu-Minggu, waktu guru istirahat dan
berkumpul bersama keluarga. Hal itu membuat kurangnya konsentrasi
mereka. Padahal, guru memerlukan relaksasi satu atau dua hari dalam
seminggu.
Keempat,
pelatih yang tidak kompeten. Pelatihan guru sudah menjadi proyek
yang dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu sehingga
mengabaikan aspek kompetensi siapa melatih materi apa. Akhirnya,
tujuan pelatihan tidak tercapai karena pelatih bukan orang yang
menguasai materi.
Kelima,
terkait dengan sekolah. Fasilitas sekolah sangat sekolah sangat
minim sehingga tidak mendukung penerapan keterampilan guru setelah
selesai pelatihan. Guru memerlukan tempat dan fasilitas untuk
mempraktikkan pengetahuan barunya setelah pelatihan. Keterampilan
baru guru sering tidak terlatih saat sudah kembali ke sekolah yang
minim fasilitas. Kecuali itu, budaya sekolah juga tidak propembaruan.
Morley dalam Recent Developments in In-Service Education and Training for Teacher (1994) menulis, ‘Kesadaran
saja belum cukup, dan di mana pun pelatihan ditempatkan, ia harus
didukung (back up) oleh satu pemahaman tentang prinsip-prinsip dan
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilan-keterampilan, jika ingin mengubah sebuah praktik’.
Masalah
lainnya sekolah sering tidak mengirim guru untuk pelatihan karena
kekurangan guru. Itu yang menjadikan mutu guru tidak pernah
meningkat dari tahun ke tahun. Alih-alih meneruskan pendidikan ke
jenjang S-1 atau S-2, untuk pelatihan pun guru sering gagal.
Keenam,
pengabaian terhadap evaluasi pelatihan. Pelatihan berakhir tanpa
evaluasi. Jikapun ada evaluasi, data evaluasi tidak dimanfaatkan
untuk perbaikan di masa mendatang. Evaluasi dilakukan sekadar
formalitas.
Padahal, evaluasi bertujuan mengetahui kelebihan dan kekurangan pelatihan. Seperti diungkapkan Stufflebeam dalam Evaluation Models: Viewpoints on Education and Human Services Evaluation (1985), “Tujuan paling penting dari evaluasi program ialah bukan untuk membuktikan, melainkan untuk meningkatkan.“ Tanpa (pemanfaatan hasil) evaluasi, sulit mengharapkan pelatihan yang efektif di masa depan.
Langkah Perbaikan
Rantai
masalah tersebut bisa diatasi dengan beragam cara sehingga
pelatihan men jadi efektif. Pertama, pelatih harus memiliki
sertifikat pelatih melalui training of trainers (ToT). ToT
sebaiknya memuat ma teri pembelajaran aktif, inovatif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan (PAI KEM), tentu di samping materi utama.
Dengan demi materi utama. Dengan demikian, ia tidak hanya memiliki
pemahaman tentang substansi materi, tetapi juga menguasai metode
penyampaiannya.
Kedua, penambahan waktu pelatihan. Pola pelatihan in-onin (in-service training, on the job learning, and in-service training)
bisa diterapkan. Pelatihan dibagi dalam tiga tahap besar. Peserta
mengikuti pelatihan dalam waktu tertentu (teori), kemudian praktik
di sekolah masing-masing, dan selanjutnya tahap penilaian hasil
kerja guru.
Pada tahap akhir ini guru menerima feedback
dari para pelatih. Pola itu sudah dilakukan dalam beberapa
pelatihan, khususnya di 12 pusat pengembangan dan pemberdayaan
pendidik dan tenaga kepen didikan (P4TK) seluruh Indonesia. Akan
tetapi, di lembaga lain seperti lembaga pendidik tenaga kependidikan
(LPTK), pola pelatihan tersebut belum diterapkan–khususnya di
Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(sebagai contoh).
Ketiga,
sekolah dikelola dengan manajemen terbuka atau transparan, dan
menghindari praktik koruptif, nepotisme (buta), serta mulai berbenah
ke dalam secara perlahan tetapi pasti. Fasilitas pembelajaran
dilengkapi sesuai kemampuan. Para guru diberikan haknya sesuai
aturan yang berlaku, seperti kesempatan yang sama bagi semua guru
untuk mengikuti pelatihan.
Keempat,
sekolah melaksanakan pelatihan mandiri. Sekolah mendesain sendiri
program-program pelatihan yang menjadi kebutuhan guru, minimal dua
kali dalam setahun. Namun, sekolah sering abai terhadap pentingnya
peningkatan kompetensi guru. Padahal, tanggung jawab peningkatan
mutu guru bukan hanya pemerintah dan masyarakat, tetapi juga
sekolah.
Astin (1985) mengingatkan dalam Achieving Educational Excellence, “Lembaga
yang paling unggul ialah yang memiliki pengaruh yang besar pada
pengembangan kepribadian dan pengetahuan siswa, para pendidik, dan
kemampuan pedagogis dan produktivitas.“ Dalam hal ini, kepala
sekolah bisa bekerja sama dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG).
|
News >