Anis Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, membatalkan hasil UN sebagai salah satu syarat kelulusan siswa pada Desember 2014. Kelulusan siswa sepenuhnya kewenangan sekolah, karena guru yang lebih tahu perkembangan kompetensi siswa. Salah pikir jika kelulusan siswa hanya dinilai dari aspek kognitif, melupakan sikap dan psikomotorik. Hasil UN akan dipakai sebagai pemetaan mutu pendidikan nasional. Dari pemetaan tersebut pemerintah membuat program perbaikan mutu pendidikan secara nasional. Kecuali hasil UN, sesungguhnya dengan hasil akreditasi sekolah dan visitasi, pemerintah bisa melakukan perbaikan mutu sekolah. Pemerintah juga sudah tahu perbedaan kualitas sekolah di kota dan di desa. Sekolah di daerah perbatasan, terluar, dan terdalam sangat jauh dari standar nasional pendidikan. Sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Hasil UN selama ini tidak menunjukkan kondisi riil sekolah tersebut karena proses UN penuh dengan kecurangan terstruktur. Pemerintah tak sanggup menghilangkan kecurangan sekolah meski sudah melakukan upaya pencegahan yang berlapis. Maka, kebijakan Mendikbud di atas diharapkan merupakan solusi terbaik dalam menghilangkan perilaku buruk yang ada di sekolah setiap kali melaksanakan UN. Perilaku buruk itu dilakukan secara sadar, terencana, dan masif.
Budaya buruk Dampak kebijakan UN sebagai syarat kelulusan sekolah dan syarat masuk perguruan tinggi (PT) sangat buruk bagi dunia pendidikan. Kepala sekolah dan guru melakukan kecurangan, orangtua dan siswa stres, ada oknum penjual kunci jawaban, pengawasan berlebih saat UN oleh dosen, guru, dan polisi, dan pendidikan dimaknai sebagai kognitif semata. Pusat Psikologi Terapan Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) melakukan survey online atas pelaksanaan UN tahun 2004-2013. Ditemukan bahwa kecurangan UN terjadi secara massal lewat aksi mencontek, serta melibatkan peran tim sukses yang terdiri dari guru, kepala sekolah, dan pengawas. Total responden dalam survei adalah 597 orang yang berasal dari 68 kota dan 89 kabupaten di 25 provinsi. 75 persen responden mengaku pernah menyaksikan kecurangan dalam UN. Siswa membayar Rp 1 juta sampai 1,5 juta untuk mendapatkan bocoran soal. Secara psikologis, mayoritas responden mengaku takut tidak lulus UN (66%). Bahkan, 95% responden mengaku ingin bunuh diri. Apakah praktik negatif yang ditimbulkan UN tersebut tidak akan terjadi lagi setelah kebijakan tersebut? Inilah tantangan dunia pendidikan menengah saat ini. Kebijakan baru UN ini diharapkan bisa menghapus praktik kecurangan yang terjadi di sekolah. Kecurangan bukan semata inisiatif kepala sekolah dan guru tapi melibatkan kepala dinas pendidikan kabupaten dan provinsi, juga bupati dan walikota. Dinas pendidikan dan pimpinan daerah menutup mata terhadap praktik negatif tersebut karena tidak mau dianggap gagal dalam membina sekolah di wilayahnya.
Perbaikan Meninggalkan budaya negatif seputar UN yang sudah berlangsung lama tidak akan mudah, namun bukan berarti tidak bisa. Kuncinya ada pada kemauan pemimpin, yaitu kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan. Mereka bersama guru-guru bersepakat bahwa yang lalu adalah kesalahan dan ke depan harus jujur dalam mendidik siswa melalui UN yang jujur. Pertama, meluruskan pandangan tentang tujuan pendidikan. Pendidikan bertujuan melahirkan anak yang berbudi luhur dan pintar. Namun, sulit melahirkan anak yang baik jika di akhir masa sekolah, anak dipaksa berbuat curang dan tidak jujur oleh para pendidik dan pimpinan, atau bahkan direstui orangtua. Pendidikan di rumah dan si sekolah dirusak oleh kegiatan UN yang penuh manipulasi, meski sudah dijaga ketat dan berlapis oleh pengawas independen, yaitu dosen/mahasiswa dan polisi. Suatu “prestasi sekolah” yang tak patut dibanggakan. Tidak berguna melahirkan anak yang pandai namun suka menipu dan tidak jujur. Untuk mendapatkan anak yang jujur dalam hidupnya sekolah perlu memberikan contoh seperti tidak mencontek. Sungguh, praktik kecurangan UN di sekolah sangat jauh dari makna dan tujuan pendidikan. Bukankah orangtua menyekolahkan anak untuk jadi anak baik? Kedua, meningkatkan mutu pembelajaran. Hasil baik tidak bisa diraih dengan cara instan seperti melatih siswa dengan soal-soal UN pada akhir semester (drilling). Sekolah perlu melatih siswa sejak tahun pertama agar pandai dan siap menghadapi UN. Jika pembelajaran bermutu, orangtua, guru, dan siswa tak perlu khawatir dengan hasil UN. Hasil UN pasti sesuai dengan mutu pembelajaran yang baik di sekolah. Sekolah seharusnya mengajarkan siswa untuk kerja keras dengan cara giat belajar sejak tahun pertama sekolah. Masalahnya, mutu pembelajaran di setiap sekolah sangat beragam. Tidak semua sekolah mutu pembelajarannya baik, seperti kurangnya guru, kurangnya fasilitas, lemahnya kompetensi guru, hingga kurangnya ruang kelas. Sebagai contoh, nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5. Padahal, nilai standar kompetensi guru adalah 75. Ketiga, menerima hasil UN dan memperbaiki kekurangan. Orangtua, sekolah, dan dinas pendidikan harus menyikapi positif hasil UN siswa. Tanpa kecurangan, nilai riil UN siswa (jika rendah) justru dijadikan sebagai bahan melakukan perbaikan di kemudian hari. Hasil UN di sekolah, di tingkat kecamatan, tingkat kebupaten, tingkat provinsi, dijadikan sebagai bahan melakukan pembenahan pendidikan di sekolah dan daerah. Bukankah pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang baik di seluruh wilayah Indonesia? Sungguh sekolah akan diuji
oleh kebijakan baru UN tersebut: apakah kecurangan masih akan mewarnai
pelaksanaan UN di 2015 ini? Kita berharap sekolah lebih mementingkan kebaikan
siswa di masa depan, yaitu dengan memberikan teladan kejujuran dan giat belajar
dalam pelaksanaan UN. Bagaimana bisa melihat kondisi nyata mutu pendidikan di
sekolah jika prosesnya penuh kecurangan. Bukankah niat dan tujuan yang baik
harus diikuti dengan cara-cara yang baik pula?
|
News >